Kamis, 25 April 2013



 CONTOH MAKALAH BAHASA INDONESIA

BAB I
PENDAHULAN

1     Latar Belakang Permasalahan

Menurut Herakleitos, seorang filsuf yang berasal dari Yunani, ruang dan
waktu adalah bingkai, di dalamnya seluruh realitas kehidupan kita hadapi.
Kita tidak bisa mengerti benda-benda nyata apapun tanpa meletakkannya pada bingkai ruang waktu (Cassirer, 1987: 63).

Lingkungan kita terbatas dan ruang itu ternyata penuh dengan hal-hal
abstrak dan konkret yang ditemui dan dialami oleh manusia. Disamping hal
tersebut, ada juga unsur dan wujud yang diwarisi serta dipelajari dari nenek
moyang. Peradaban selalu dinamis dan mudah bereaksi terhadap kegiatan
yang ada di lingkungan pada waktu tertentu. Kelompok manusia atau
masyarakat dan individu pribadi menginterpretasikan suatu peristiwa berbeda
dengan kelompok atau individu yang berlatar belakang lain atau yang berpola
pikir berbeda. Maksudnya, kita hidup dalam suatu lingkungan yang
membentuk sikap individu, kebudayaan masyarakat, dan lingkungan alam.
Pada saat seseorang lahir di dunia, dia memiliki kesempatan memilih
ribuan jalan kehidupan. Namun pada akhirnya dia hanya bisa memilih satu
jalan hidup saja. Pengalaman hidup manusia adalah sumber utama dalam filsafat manusia. Menurut Comte, filsuf modern: “Kondisi-kondisi sosial
ternyata memodifikasi bekerjanya hukum-hukum fisiologis, maka fisika
sosial harus menyelenggarakan observasi-observasinya sendiri” (Cassirer,
1987: 100).

Di Indonesia terdapat tigaratus lebih kelompok suku bangsa yang sifat
hidupnya berbeda cukup signifikan dari kelompok lain. Disamping hal itu
mereka mempunyai identitas yang berbeda dan menggunakan lebih dari dua
ratus bahasa khas. Namun demikian menurut postulasi ahli bahasa Robert
Blust, sebagian besar bahasa di Indonesia termasuk rumpun bahasa Melayu-
Polinesia.
Kira-kira duaratus sepuluh juta penduduk Indonesia tersebar di lebih dari
empat belas ribu pulau dan kira-kira 1,5 persen jumlah penduduknya hidup
dengan cara tradisional. Aktivitas memenuhi kebutuhan hidup atau hiburan
jauh berbeda dengan kelompok manusia lain.
Masyarakat Indonesia menganut bermacam-macam agama dan sejumlah
besar kepercayaan tradisional yang dapat ditemui di daerah yang terpencil.
Kepercayaan-kepercayaan tradisional sering diakulturasikan dengan ajaran
agama Islam, Hindu atau Kristen. Juga ada jumlah penganut agama yang
memasukkan unsur-unsur kepercayaan nenek moyang. Misalnya di Jawa
unsur-unsur Hindu dan animisme masuk agama Kristen dan Islam.
Kelihatannya dengan akulturasi tersebut, agama dengan unsur-unsur
kepercayaan tradisional, memyebabkan kemunculan kosmos baru. Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku-suku besar
yang mempunyai ciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Aceh,
Batak, Minangkabau dan Melayu. Juga adalah sejumlah suku-suku minoritas
di Sumatera sebelah timur di kawasan hutan luas diantara sungai-sungai
besar, maupun rawa-rawa pantai dan pulau-pulau lepas pantai. Kebanyakan
suku minoritas di propinsi Jambi dan sekitarnya dikenal dengan nama umum
orang Kubu yang benar-benar memiliki tradisi sendiri. Di kawasan pantai
terdapat orang Akit, orang Utan dan orang Kuala atau Duano. Di pulau-pulau
lepas pantai terdapat orang Laut dan orang Darat dari kepulauan Riau dan
Linga. Ada orang Sekak di pesisir kepulauan Bangka dan Belitung dan orang
Lom disebelah utara pulau Bangka.
Di pedalaman terdapat orang Sakai, yang berlokasi diantara sungai
Rokan dan Siak. Orang Petalangan ada diantara sungai Siak dan Kampur dan
diantara sungai Kampar dan Indragiri. Ada orang Talang Mamak diantara
sungai Indragiri dan Batang Hari. Orang Batin Sembilan di daerah antara
sungai Batang Hari dan Musi, tetapi khususnya di sisi perbatasan propinsi
Jambi. Orang Bonai, yang mendiami di kawasan berawa di pertengahan
Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Rokan yang bersebelahan kawasan orang
Sakai.
Dalam makalah ini penulis terutama memfokuskan pada salah satu suku
lain, yang tidak ingin dikenal dengan nama orang Kubu tetapi orang Rimba,
atau Kelam yang nama benar menurut salah seorang Rimba, kelompok Biring
yang masih tinggal di lingkungan tradisional. Walaupun nama suku Kubu sudah digunakan sejak beberapa abad, arti nama berubah dan konotasi nama
itu tidak selalu sesuai keinginan mereka lagi, supaya lebih cocok suku dikenal
dengan nama disebut diatas, Orang Rimba. Kadang-kadang ada keperluan
mereferensikan sebagai orang Kubu atau istilah yang digunakan oleh
pemerintah, Suku Anak Dalam (SAD). Dalam makalah ini beberapa data dari
suku tetangga orang Rimba yakni suku orang Batin Sembilan, dijadikan
sebagai studi pembandingan, alasannya ada beberapa sifat terkait dengan
budaya orang Rimba.
Sampai sekarang, kebudayaan masyarakat tradisional orang Rimba
bertahan dari tekanan hidup yang muncul dari pinggiran tanah tradisional
mereka. Kelihatannya, mau atau tidak mau, masyarakat transmigrasi dan
perantau baru yang mempunyai kebudayaan pasca tradisional masuk dengan
jumlah cukup besar dalam waktu 20 tahun terakhir. Hal ini berdampak pada
pencarian nafkah, kehidupan sosial dan aspek kehidupan lain orang Rimba
secara drastis. Misalnya, penebangan kayu resmi maupun liar dan pembukaan
lahan untuk perkebunan karet dan kelapa sawit, adalah aktivitas yang tidak
umum di kehidupan orang Rimba dan benar dirasakan oleh orang Rimba.
Mereka merupakan suku yang tergolong defensif dan tidak terbiasa
melakukan peperangan atau berjuang untuk mempertahankan hak adatnya
yang tidak selalu diterima oleh institusi resmi pemerintah yang mengatur
hukum.
Pada bulan November 2001, penulis pertama kali bertemu kelompok
tradisional, orang Batin Sembilan, di lokasi pembinaan di Silang Pungguk, yang termasuk desa Muara Singoan dekat Muara Bulian. Saat itu masih ada
bagian kelompok tradisional yang belum dibina dibawah supervisi
Departemen Kesejahteraan dan Sosial (DEPSOS). Penulis sangat tertarik
gaya hidup mereka dan berencana kembali ke propinsi Jambi untuk
melakukan studi di tingkat lebih lanjut.
Pada tahun 2003, selama sekitar dua bulan, penulis melakukan riset
di propinsi Jambi. Pada kesempatan tersebut, penulis bertemu lagi dengan
kelompok orang Batin Sembilan di Sialang Pungguk yang kelihatannya
beradaptasi tahap pasca tradisional dengan bantuan pemerintah. Di lokasi lain
di propinsi Jambi penulis bertemu dengan orang Rimba, yakni kelompok
Temenggung Tarib dan kelompok Bering, yang keduanya berada di Bukit
Duabelas dekat pemukiman transmigran Paku Aji yang tidak terlalu jauh dari
kota Bangko. Walaupun hutannya sudah sempit di Bukit Duabelas ada
beberapa kelompok yang tinggal disana yang ingin ikut pola kehidupan sosial
yang diwarisi dari nenek moyangnya.
Penulis tertarik pada bentuk kehidupan kelompok tersebut. Walaupun
mereka menghadapi banyak kesulitan, mereka tetap bertahan sebab memiliki
cukup kepuasan, perselisihan minimal dan harmonis dengan lingkungan
sekitarnya. Mereka tidak dipaksa hidup di hutan, sejak waktu kolonial ada
kesempatan dan bantuan dari luar untuk pindah ke kampung, tetapi
kelihatannya perpindahan tersebut gagal dan mereka kembali ke hutan lagi. Perbedaan budaya lisan dan budaya pasca lisan (tulisan) tidak perlu
menyebabkan prasangka. Budaya lisan lebih sederhana dibandingkan dengan
budaya pasca lisan yang lebih kompleks dan cenderung konsumtif.
Menurut informasi yang ada sampai sekarang, administrasi pusat maupun
propinsi mengetahui bahwa ada orang Kubu, tetapi mereka belum mendapat
pengakuan hak uliyat atau mendapat sertifikat milik tanah nenek moyang
yang diwariskan.

2.      Perumusan Masalah

Penulis merumuskan masalah yang akan menjadi pedoman sekaligus
arah dari penelitiannya. Dari pertanyaan pokok ini penulis merincikan
menjadi beberapa pertanyaan hipotesis yang merupakan penurunan dari
pertanyaan pokok. Pertanyaan tersebut adalah: Apakah sejarah atau asal usul
orang Rimba, apakah struktur sosial masyarakat kelompok orang Rimba.
Apakah lingkungan flora dan fauna cukup untuk memenuhi atau bermanfaat
bagi kebutuhan hidup mereka. Apakah pola pikir orang Rimba dan
filosofinya mengenai hidup atau terhadap pemandangan dunia. Apakah
perubahan dari situasi kehidupan mereka pada zaman dahulu dan prospek
pada masa depan. Apakah keadaan dewasa ini kelompok tradisional Orang
Batin Sembilan setelah dibina oleh pemerintah beberapa tahun yang lalu
mengalami perubahan.
Kelihatannya ada kecenderungan di dunia bahwa masyarakat pasca
tradisional, yang menggunakan bahasa tulis, menginginkan suatu pengelolaan
kelompok suku tradisional yang mempunyai tradisi lisan. Sebuah kelompok yang tidak hidup menurut tata tertib atau tidak berbudaya tulisan, diterima
sebagai sekelompok yang susah, menurut masyarakat pasca tradisional. Sejak
dahulu, orang buta-huruf disamaartikan dengan orang terbelakang, alasannya
struktur masyarakat tradisional sangat sederhana dibandingkan dengan
masyarakat pasca tradisional.
Apabila kita mengamati struktur sosial masyarakat akan menunjuk
kepada suatu jenis suasana dan aturan. Komponen tersebut adalah unit-unit
struktur sosial yang terdiri dari orang atau masyarakat yang memenuhi
kedudukan dalam struktur sosial (Radcliff-Brown 1980: xix). Misalnya, sejak
kecil orang Rimba sadar bahwa struktur masyarakat memenuhi kebutuhan
pangan, papan dan sandang, dan memenuhi kebutuhan abstrak termasuk
kebutuhan psikologis yang mewujudkan kosmologi atau pola pikir mereka.
Kelihatannya bahwa untuk memenuhi kebutuhan materiil masyarakat
pasca tradisional perlu mengakseskan hasil alam, yang terletak di kawasan
suku tradisional. Daerah eksplorasi dibuka supaya bahan alam ditebang atau
ditambang dan diangkut keluar untuk memenuhi kepuasan pasar yang di luar
tanah tradisional. Demikian kelihatan kebutuhan masyarakat pasca tradisional
diprioritaskan, sebenarnya eksploitasi tanah yang sebenarnya “Lebensraum
kelompok tradisional.
Karena terjadi perubahan sosial kultural dan lintas budaya, dimana
suku tradisional memiliki sifat rendah hati dan tidak melawan, terpecah. Dari
masalah-masalah yang disebutkan di atas, kelompok dibagi menjadi tiga.
Kelompok pertama yang masih tradisional atau dengan perubahan minimal, yaitu kelompok yang mengikuti kebudayaan secara sebaik mungkin yang
diwariskan dari nenek moyang. Kelompok kedua, yang masih tinggal di
pinggir daerah tradisional, yang kurang bisa mengadopsi semua ciri-ciri hidup
pasca tradisional tetapi sudah masuk beberapa ide dari masyarakat pasca
tradisional. Ketiga, kelompok yang tidak mampu mengre-fokuskan atau
mengorientasikan lagi untuk memenuhi kebutuhan primer sendiri dan hanya
bertahan dengan bantuan dari masyarakat luar saja. Misalnya, kelompok
ketiga tersebut yang benar putus asa, bisa diamati di pinggir jalan raya, minta
uang. Dengan menggunakan tali berseberangan jalan mereka membatasi jalan
(seperti jalan tol) dan meminta uang. Pada umumnya stereotipe budaya orang
Kubu berasal dari pengamatan tindakan orang Kubu yang berada di pinggir
jalan seperti contoh diatas. Padahal hidup di pinggir jalan bukan lingkungan
asli mereka.

3.      Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Alasan menulis makalah mengenai orang Rimba untuk mengetahui
sejarah orang Kubu serta orang Rimba, termasuk prasejarah kawasan mereka
dari permulaan pertama. Untuk memahami budaya, ketindakan dan filosofi
masyarakat orang Rimba tradisional yang tinggal di bagian selatan, Cagar
Biosfer, Taman Nasional Bukit Duabelas. Sebagai studi pembandingan,
beberapa hari dihabiskan di tengah kelompok orang Batin Sembilan, untuk
mengukurkan kepuasannya setelah mereka ikut program pembinaan yang
dikelola oleh Departemen Sosial dan Kesejahteraan. Penulis ingin mengetahui mengenai konsep atau pola pikir dan
kosmos orang Rimba dan keinginan mereka pada masa depan. Keterangan
yang dapat dari studi ini supaya memahami masyarakat secara mendalam dan
holistik, mengenai prinsip kehidupan dan pengendalian sosial, agar
keseimbangan dengan menggunakan beberapa aspek teori antropologi
struktur fungsional.
Dengan keterangan dari teori dan pengalaman studi lapangan
menggambarkan peradabannya dan keterangan itu menjadi senjata untuk
mengatasi kesalahpahaman antar kelompok budaya tradisional dan budaya
pasca tradisional. Selanjutnya, supaya kebutuhan hidup orang Indonesia
dimana-mana, dilihat dari sudut multi-kultur. Serta mengatasi masalah
mengamati kebudayaan individu dari sudut etnosentris saja pada masa depan.
Maknanya, penggunaan tanah tradisional, fakta sosial seperti moralitas,
kepercayaan, pola pikir, pendapat umum orang tradisional sama dihormati
oleh masyarakat pasca tradisional, yang sebetulnya juga ingin dihormati.
Sampai sekarang menurut pengamatan emperis, masyarakat
tradisional yang diserap kebudayaan pasca tradisional sering menjadi bagian
masyarakat lapisan terbawa. Kombinasi, unsur sakit-hati kelompok
masyarakat yang disteriotipe sebagai kelompok inferior, dan unsur kelompok
yang merasa mandul secara politikal, adalah unsur-unsur yang bahaya pada
waktu depan.
Di Indonesia keanekaragaman penduduk, kadang-kadang menjadi
alasan kesalahpahaman yang menyebabkan friksi antar-kelompok yang cepat
10
meletus seperti gunung berapi. Gangguan itu, dan perubahan lain yang asal
dari dalam negeri maupun luar, mengancam stabilitas struktur dan bisa
menghancurkan keseimbangan ekonomi serta keadaan sosial masyarakat
lokal. Friksi antara kelompok seperti yang tersebut dikenal di Indonesia
dengan istilah SARA, atau dengan kata lain, friksi yang berkait dengan hal:
suku, agama, ras atau etnik atau status ekonomi. Masalah itu, salah satu
alasan untuk melakukan riset mengenai masalah sosiologi maupun
antropologi, supaya masalah tersebut bisa diatasi sebelum muncul dan
meledak.

4. Tinjauan Pustaka
Kelihatannya cara kehidupan lapisan masyarakat tradisional tidak
sesuai dengan pola pikir rasional pemerintah pasca tradisional. Pemerintah
membentuk distrik-distrik tertentu yang dikepalai oleh Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang menerapkan kebijaksanaan dari pusat maupun lokal serta
mengumpulkan data mengenai persoalan sosial dan ekonomi ala pasca
tradisional. Pengaruhnya mengganggu serta merubah bentuk-bentuk
masyarakat yang pra-modern (Geerz H, 1981 6)
Menurut interpretasi budaya Jawa oleh seorang sosiolog, adalah
keinginan oleh budaya untuk menghaluskan lingkungannya sebaik mungkin,
artinya menyempurnakan budaya dan alam. Kelihatannya, manusia sebaiknya
membebaskan dan menjauhkan diri dari alam, supaya alam dirobohkan dan
tanah dihaluskan. Maksudnya, hutan liar, dilihat sebagai dunia kasar yang boleh dilihat sebagai hal yang menakutkan atau yang tidak sesuai budaya
halus. Mungkin tempat liar tertentu memang tempat angker, tempat misteri
dengan roh-roh yang berbahaya. Sebenarnya tempat tersebut dilihat sebagai
tempat yang cocok bagi orang yang akan bertapa, atau mengasingkan diri
(Magnis-Suseno, 1997: 127). Dari sisi lain, petani mengamati tanah yang
belum dibuka sebagai tempat yang belum produktif yang perlu digarap
supaya berhasil. Menyadari latar belakang itu, penting untuk menjelaskan
pola pikir dari sudut budaya Jawa atau budaya modern terhadap orang dan
lingkungan yang belum dihaluskan seperti orang Rimba.
Smelser menyatakan bahwa pada umumnya kemajuan ekonomi
disamakan dengan "growth of output per head of population". Modernisasi
adalah jalur untuk meningkatkan hasil atau produksi. Mengganti teknik yang
sederhana dan lama dengan aplikasi ilmu pengetahuan terapan (scientific
knowledge). Di sektor ekonomi, bidang pertanian, khususnya pada pertanian
swadaya (subsistence farming), produksinya meningkat dengan aplikasi
model produksi komersial. Di bidang industri, dari kerajinan tangan dan
penggunaan tenaga hewan ditingkatkan dengan aplikasi mesin menggunakan
tenaga listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dan perubahan terakhir,
transmigrasi atau gerak manusia dari daerah terpencil ke kota (Smelser in
Etioni-Halevy dan Etzioni (eds),-: 269
Evolusi sosial adalah bagian dari semua perubahan. Pada awalnya
sistem organisasi sosial peradaban sederhana dan tidak teratur. Namun
kemudian terjadi perubahan organisasi sosial terus menerus. Perubahan yang

terjadi menjadi suatu kebiasaan yang kemudian menjadi lebih tetap dan pada
akhirnya kebiasaan itu menjadi hukum. Rupa-rupanya kemajuan berkait
dengan, persamaan dan ketentuan (Spenser in Etioni-Halevy & Etzioni (eds),
– : 13). Penggunaan teknik dan organisasi canggih yang digambarkan diatas
menyebabkan perubahan struktural sosial masyarakat, perubahan peranan
keluarga, kepercayaan dan stratifikasi masyarakat dalam peradaban pasca
tradisional. Pada umumnya dalam peradaban tradisional produksi kebutuhan
adalah urusan unit-unit kekerabatan (production is located in kinship units).
Pola pertukaran dan konsumsi makanan di daerah terpencil terkait dengan
unit kekerabatan. Sistem pertukaran serta tukar-balik (reciprocal exchange),
didasarkan tradisi dan kebiasaan yang terkait dengan status individu, tradisi
menghadiahkan atau tradisi gotong royong dan seterusnya. Peradaban itu
tidak memerlukan sistem pasar atau penggunaan uang untuk mendorong atau
melanjutkan produksi barang atau jasa. Menjaga suplai makanan pokok,
melestarikan keturunan, menyebarkan ilmu, hiburan dan seterusnya, menjadi
bagian kegiatan kekerabatan tradisional. Sebenarnya, tugas yang terkait
dengan kekerabatan tradisional dipersempit di masyarakat pasca tradisional.
Kekuasaan keluarga inti (nuclear family) serta kekerabatan luas (extended
kinship system) masyarakat pasca tradisional terhadap individu tidak sama
kuat dengan kekuasaan masyarakat tradisional. Berbagai urusan seperti
mencari pekerjaan, kedamaian, mencari jodoh, membesarkan anak dan hal
lain menjadi aktivitas pribadi atau diurus oleh seorang yang melakukan jasa
tertentu dan pada umumnya jasa itu dibayar. (Smelser in Etzioni (eds.): 273)

Selain itu ada perubahan dari sistem nilai tradisional versus sistim
nilai pasca tradisional. Membantu orang dari kelompok atau dari kekerabatan
yang sama atau membantu "saudara sedarah" mencari nafkah sudah menjadi
suatu kebiasaan. Hal itu sebagai suatu kewajiban dan bentuk saling
menghormati dalam kekerabatan. Kelakuan "membantu" bisa digambarkan
sebagai kelakuan yang termasuk nepotisme dalam masyarakat pasca
tradisional. Dilema yang disebut di atas, dialami oleh kebanyakan suku suku
yang bergerak dari lingkungan tradisional ke lingkungan pasca tradisional.
Disamping perubahan budaya ada perubahan fisik (menua) dan
psikologis (pengetahuan dan pengalaman) selama hidup. Sebenarnya,
kebudayaan membantu individu mengatasi ketakutan atau ketidaksenangan
dan merayakan perubahan fisik pada saat tertentu. Contohnya upacara
perempuan yang melahirkan bayi, sebetulnya mempersiapkan kehidupan
keluarga. Upacara sunatan sebetulnya adalah upacara untuk menjadi dewasa
dan mempersiapkan aktivitas seksual. Puncak hidup, memilih jodoh atau
pasangan hidup, dirayakan dengan pernikahan dan membangun rumah tangga
sendiri. Tahap terakhir kehidupan adalah upacara pemakaman yang
sebetulnya merayakan kesementaraan hidup manusia di dunia. Pada kelompok tertentu ada ritual yang berdasarkan waktu, misalnya upacara
panen, atau buah-buahan dan bunga-bunga atau upacara musiman dan ritual
lain. Upacara tersebut juga bisa dilihat sebagai kesempatan pertukaran sosial
(social exchange) dan kesempatan untuk menciptakan timbal-balik, supaya keseimbangan baru muncul (Gennep van, 1960: 117).